Setelah melalui penantian yang cukup panjang dengan segala manuver politik, akhirnya DKI Jakarta sudah mengerucut kepada finalisasi bakal calon Gubernur DKI Tahun 2017 - 2022 yaitu
1. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera
2. Agus Harimurti Yudoyono dan Sylviana Murni
diusung PAN, Partai Demokrat, PPP dan PKB
3. Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem dan Partai Hanura
Berdasarkan pantauan di lapangan suasana politik di Ibukota sudah mulai terasa menghangat. Pertarungan menuju kursi DKI 1 dan DKI 2 sangatlah penting karena akan menjadi barometer perpolitikan di tingkat nasional.
Antusias warga DKI Jakarta dalam menyambut PILKADA DKI ini juga cukup besar, dan diprediksi tingkat partisipasi warga dalam mengikuti PILKADA DKI tahun 2017 kedepan akan lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Geopolitik nasional dan di daerah juga dalam posisi wait and see melihat kesuksesan pelaksanaan PILKADA DKI tahun 2017.
Bayang-bayang kecurangan dan penggelembungan suara serta instabilitas situasi keamanan memang akan banyak menyita perhatian banyak kalangan terutama akan menjadi kerja extra keras para aparat penegak hukum dan penjaga keamanan. Untuk itu kami menghimbau kepada semua kalangan untuk tetap bersikap tenang dan tidak terprovokasi, serta harapan sikap profesionalisme serta independensi kepada pihak-pihak yang bertugas mengawal suksesnya pelaksanaan PILKADA DKI Tahun 2017.
Tampilkan postingan dengan label gubernur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gubernur. Tampilkan semua postingan
Selasa, 27 September 2016
Minggu, 03 Maret 2013
(Evaluasi Otonomi Daerah) Jabatan Kepala Daerah yang Turun Menurun
saat ini muncul sebuah fenomena yang bisa katakan berimplikasi menurun apabila kita lihat dari kacamata otonomi daerah, dimana fenomena yang berkembang saat ini adalah pemilihan kepala daerah yang kecenderungannya turun menurun, .. bagaimana ini bisa terjadi dan bukankah pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis yaitu pemilihan langsung dan sistem feodalisme sudah lama lenyap dan terdegradasi seiring dengan kemajuan jaman.
tidak bisa dipungkiri, bahwa masih banyak celah di peraturan hukum yang berlaku saat ini, yang memungkinkan sebuah dinasti kekuasaan tetap langgeng dalam bungkus demokrasi. Seperti contoh paling akhir yaitu pemilihan kepala daerah di salah satu kabupaten di jawa timur, dimana sang bapak telah 2 periode (10 tahun) memimpin daerah tersebut sebagai bupati, secara konstitusi beliau sudah tidak bisa dicalonkan lagi untuk jabatan yang sama, namun sang bapak tidak putus asa, di gadang-gadanglah anak nya dijadikan putera mahkota calon pengganti kekuasaannya meskipun masih bau kencur dan belum begitu berpengalaman, bermodalkan kesuksesan dan power sang bapak yang sudah mengakar mampu membutakan para pemilih dan menggiring massa untuk memilih sang putera mahkota tersebut menjadi pengganti dengan memenangkan pemilihan kepala daerah langsung.
selain daripada sistem perundangan yang masih longgar dalam mengatur dan membatasi politik dinasti ini, juga masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan artinya kemampuan dan kualitas calon kepala daerah yang akan dipilih, sehingga lobang ini bisa dimanfaatkan beberapa pihak (tim sukses) dalam berbagai bentuk misalnya saja pendekatan represif kepada calon pemilih, politik uang ataupun penggiringan opini masyarakat dengan background kesuksesan pendahulunya yang notabene ayah, suami, istri, kerabat sang calon kepala daerah.
kondisi inilah yang harusnya dipotret oleh pemerintah pusat guna mengatur lebih lanjut tentang fenomena politik dinasti. Kalau pemerintah pusat bisa membuat undang-undang anti trust, kenapa untuk yang satu ini tidak bisa, tinggal komitmen dan upaya positif pemerintah pusat saja yang tinggi untuk bisa membuat peraturan guna mengatur efek negatif dari fenomena jabatan kepala daerah yang hanya berputar di satu keluarga saja.
sumber foto : antaranews.com
Label:
bupati,
dinasti,
gubernur,
otonomi daerah,
pemilu,
pilkada,
politik uang,
presiden,
represif,
walikota
Langganan:
Postingan (Atom)